PEMBAHASAN
Mewujudkan Masyarakat Bermoral, Beretika dan Berbudaya.
Terciptanya
kondisi masyarakat yang bermoral dan beretika sangat penting bagi terciptanya
suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis.
Disamping itu kesadaran akan budaya memberikan arah bagi perwujudan identitas
daerah yang sesuai dengan nilai-nilai leluhur budaya daerah dan menciptakan
iklim kondusif dan harmonis sehingga nilai-nilai kearifan lokal akan mampu
merespon modernisasi secara positif dan produktif sejalan dengan nilai-nilai
kebangsaan.
Pembangunan
agama diarahkan untuk memantapkan fungsi dan peran agama sebagai landasan moral
dan etika dalam pembangunan, membina akhlah mulia, memupuk etos kerja,
menghargai prestasi, dan menjadi kekuatan pendorong guna mencapai kemajuan
dalam pembangunan. Disamping itu, pembangunan agama diarahkan pula untuk
meningkatkan kerukunan hidup umat beragama dengan meningkatkan rasa saling
percaya dan harmonisasi antar kelompok masyarakat sehingga tercipta suasana
kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis.
Pembangunan
dan pemantapan jati diri daerah ditunjukan untuk mewujudkan karakter daerah dan
sistem sosial yang berakhir unit modern dan unggul. Jati diri tersebut
merupakan kombinasi antar nilai luhur daerah seperti religius, kebersamaan dan
persatuan dan nilai modern yang universal seperti etos kerja dan prinsip tata
kepemerintahan yang baik. Pembangunan jati diri daerah tersebut dilakukan
melalui transformasi, revitalisasi, dan reaktualisasi tata nilai budaya bangsa
mempunyai potensi unggul dan menerapkan nilai modern untuk pembangunan. Untuk
memperkuat jati diri dan kebanggaan daerah, Pembangunan olah raga diarahkan
pada peningkatan budaya dan presentasi olah raga.
Budaya
inovasi yang berorientasi iptek terus dikembangkan agar Kota Samarinda
menguasai iptek serta mampu berjaya diera persaingan global. Pengembangan
budaya iptek tersebut dilakukan dengan meningkatkan penghargaan masyarakat
terhadap iptek melalui pengembangan budaya membaca dan menulis, masyarakat
pembelajar, masyarakat yang cerdas, kritis, dan kreatif dalam rangka
pengembangan tradisi iptek, bersama dengan pengarahan budaya konsumtif budaya
produktif. Bentuk- bentuk pengungkapan kreatifitas antara lain melalui
kesenian, tetap didorong untuk mewujudkan keseimbangan aspek material, spritual
dan emosional. Pengembangan iptek serta kesenian diletakkan dalam kerangka
peningkatan harkat, martabat dan peradapan manusia.
1. Masyarakat Bermoral
Seringkali kita
mendengar kata “moral‟ diucapkan banyak orang seperti ungkapan,
amoral, moralitas bangsa, dasar tidak
bermoral, anak tidak bermoral, moral bejat, tidak punya moral, dasar tidak
punya moral dan lain sebagainya. Kata moral seringkali diucapkan orang dan
biasanya kata-kata seperti itu akan sering muntah begitu saja jika dalam
kondisi marah dalam bentuk umpatan atau juga sering diucapkan dalam
memberisuatu nasehat atau dakwah, seperti seringkali di katakan oleh para
ustad,para kyai maupun para pemimpin.
Pengertian Moral
(Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang
lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak
memiliki moral disebut amoral artinyadia tidak bermoral dan tidak memiliki
nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang
harus dimiliki oleh manusia.Ciri manusia bermoral atau manusia tidak bermoral
dapat dilihatdari pengertian dan beberapa istilah terkait pengertian moral.
Ciri orang bermoral dan
tidak bermoral adalah jika seseorang melakukan tindakan sesuai dengan nilai
rasa dan budaya yang berlaku ditengah masyarakat tersebut dan dapat diterima
dalam lingkungan kehidupan sesuai aturan yang berlaku maka orang tersebut
dinilai memiliki moral. Kata moral atau akhlak sering kali digunakan untuk
menunjukkan pada suatu perilaku baik atau buruk, sopan santun dan kesesuaiannya
dengan nilai-nilai kehidupan pada seseorang. Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan
baik moral, etika, akhlak, budi pekerti mempunyai penekanan yang sama, yaitu
adanya kualitas-kualitas yang baik yang teraplikasi dalam perilaku seseorang
dalam kehidupan sehari-hari, baik sifat-sifat yang ada dalam dirinya maupun
dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat. Nilai baik sekaligus ciri
manusia bermoral sebagai makhluk individu dapat dilihat dengan adanya
perilaku seperti jujur, dapat dipercaya, adil, bertanggung jawab dan lain-lain,
maupun sebagai makhluk sosial dalam hubungannya dengan masyarakat, seperti
kejujuran, penghormatan sesama manusia, tanggung jawab, kerukunan, kesetiakawanan,
solidaritas sosial dan sebagainya.
2. Kesadaran Hukum
Disepakati bahwa
manusia adalah makhluk sosial, yaitu makluk yang selalu berinteraksi dan
membutuhkan bantuan dengan sesamanya.Dalam konteks hubungan dengan sesama perlu
adanya keteraturan sehingga setiap individu dalam berhubungan secara harmonis
dengan individu lain di sekitarnya. Untuk terciptanya keteraturan tersebut diperlukan
aturan yang disebut oleh kita hukum. Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan,
mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau
diluar masyarakat.
Hukum diciptakan dengan
tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah
keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang kepastian hukum dan
lain-lain. Akan tetapi dalam kaitan dalam masyarakat, tujuan hukum yang utama
dapat direduksi untuk ketertiban (order). Mochtar Kusumaatmaja (2002,hlm.3) mengatakan
“ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan
terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya
suatu masyarakat yang teratur, ketertiban sebagai tujuan utama hukum yang
merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam
segala bentuknya”. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan
adanya kepastiandalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.
Banyak kaidah yang
berkembang dan dipatuhi masyarakat, seperti kaidah agama, kaidah susila,
kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah moral.Kaidah hukum sebagai salah satu
kaidah sosial tidak berarti meniadakan kaidah-kaidah lain tersebut,bahkan
antara kaidah hukum dengan kaidah lain saling berhubungan yang satu memperkuat
yang lainnya, meskipun ada kalanya kaidah hukum tidak sesuai atau tidak serasi
dengan kaidah-kaidah tersebut.
Dahlan Thaib
(2001,hlm.3) mengatakan bahwa hukum itu merupakan hukum apabila dikehendaki,
diterima oleh kita sebagai anggotamasyarakat ; apabila kita juga betul-betul
berpikir, demikian seperti yang dirumuskan dalam undang-undang, dan terutama
juga betul-betul menjadi realitas hukum dalam kehidupan orang-orang dalam
masyarakat. Dengan demikian hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai
(values) yang berlaku pada suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum
itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Kesadaran hukum pada
hakikatnya berpangkal pada adanya suatu pengetahuan tentang ketentuan hukum
yang mengatur hidup dalam hidup bersama. Dari pengakuan mengenai ketentuan
hukum ini akan lahir suatu pengakuan dan penghargaan terhadap
ketentuan-ketentuan hukum yang dimaksud, sehingga timbul penghayatan terhadap
ketentuan hokum tersebut.Kalau kondisi seperti ini telah terdapat pada suatu
negara selaku pelaku pendukung negara, maka terbinalah kesadaran hukum, yang
berartipula ketertiban dan kepastian hukum dalam kehidupan bersama tercipta.
3. Problematika Nilai, Moral, dan
Hukum
Hukum sebagai norma harus
didasarkan pada nilai moral. Apa artinya Undang-Undang jika tidak disertai moralitas.
Norma moral adalah norma yang paling dasar. Norma moral menentukan bagaimana
kita menilai seseorang. Suatu hukum yang bertentangan dengan norma moral
kehilangan kekuatannya, demikian kata Thomas Aquinas. Secara ideal, seharusnya
manusia taat pada norma moral dan norma hukum yang tumbuh dan tercipta dalam
hidup sebagi upaya mewujudkan kehidupan yang damai, aman, dan sejahtera. Namun
dalam kenyataannya terjadi berbagai pelanggaran, baik terhadap norma moral
maupun norma hukum. Pelanggaran norma moral merupakan suatu pelanggaran etik, sedangkan
pelanggaran terhadap norma hukum merupakan suatu pelanggaran hukum.
Hukum adalah alat pembaruan dalam masyarakat.
Roscoe Pound mengutarakan hukum adalah sebagai alat pembaruan dalam masyarakat
dalam bukunya “An Introduction to the Philosophy of Low” (1954). Dan
dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja disesuaikan dengan situasi dan kondisi
negara Indonesia yaitu konsep ” Law as a tool of sacial engineering” yang
merupakan inti dari aliran Pragmatic Legal Realism. Konsep tersebut adalah
merupakan penyesuaian antara situasi kondisi Indonesia dengan filsafat budaya
Northrop dan Policyoriented dari Laswell dan Mc Dougal.
Hukum adalah “sarana” pembaruan dalam
masyarakat Indonesia luas jangkauannya dan ruang lingkupnya di Amerika Serikat
tempat kelahirannya. Sehingga hukum yang digunakan dalam pembaharuan berupa
undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi antar keduanya. Agar
pelaksanaan perundang-undangan bertujuan pembaruan sebagaimana mestinya
hendaknya perundang-undangan dibentuk sesuai dengan inti aliran Sociological
Jurisprudence yaitu hukum sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat
(living law) atau (dapat dikatakan pencerminan narma-norma dalam masyarakat),
guna pembaruan serta menguban sikap mental masyarakat tradisional kea rah
modern. Sebagai contoh keharusan pembuatan sertifikat tanah dan lain
sebagainya.
1.Pelanggaran Etik
Kebutuhan akan norma
etik di oleh manusia diwujudkan dengan membuat serangkaian norma etik untuk
suatu kegiatan atau profesi. Kodeetik profesi berisi ketentuan-ketentuan
normatif etik yang seharusnya dilakukan oleh anggota profesi. Kode etik profesi
dibutuhkan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan disisi
lain melindungi, masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun
penyalahgunaan keahlian. Meskipun telah memiliki kode etik, masih terjadi
pelanggaran terhadap profesi. Contohnya: Dokter melanggar kode etik kedokteran.
Pelanggaran terhadap kode etik tidak diberikan sanksi lahiriah ataupun yang
bersifat memaksa. Pelanggaran etik biasanya mendapat sanksi etik berupa rasa
menyesal, bersalah, dan malu. Bila seorang profesi melanggar kode etik
profesinya ia akan mendapatkan sanksi etik darilembaga profesi, seperti
teguran, dicabut keanggotaannya, atau tidak diperbolehkan lagi menjalani
profesi tersebut.
2.Pelanggaran Hukum
Problema hukum yang
berlaku dewasa ini adalah masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat. Akibatnya
banyak terjadi pelanggaran hukum. Bahkan, pada hal-hal kecil yang sesungguhnya
tidak perlu terjadi. Misalnya, secara sengaja tidak membawa SIM dengan sengaja
dengan alasan hanya untuk sementara waktu.
Pelanggaran hukum dalam
arti sempit berarti pelanggaran terhadap perundang-undangan negara. Sanksi atas
pelanggaran hukum adalah sanksi pidana dari negara yang bersifat lahiriah dan
memaksa masyarakat secara resmi (negara) berhak memberi sanksi bagi warga
negara yang melanggar hukum. Bila dicermati, ada beberapa hal yang menyebabkan
lemahnya penegakan hukum pertama kesadaran/pengetahuan hukum yang lemah. Kesadaran/pengetahuan
hukum yang lemah dapat berefek pada pengambilan jalan pintas dalam
menyelesaikan persoalan masing-masing. masyarakat yang tidak mengerti akan
hukum, berpotensi besar dalam melakukan pelanggaran terhadap hukum.
Dalam hukum, dikenal
dengan adanya fiksi hukum artinya semua dianggap mengerti akan hukum. Seseorang
tidak dapat melepaskan diri dari kesalahan akan perbuatannya dengan alasan
bahwa ia tidak mengerti hukum atau suatu peraturan perundang-undangan. Jadi
dalam hal ini sudah sewajarnya bagi setiap individu untuk mengetahui hukum.
Sedangkan bagi aparatur hukum atau elemen lain yang concern pada supremasi
hukum sudah seharusnya memberikan kesadaran hukum bagi tiap individu.
Kedua adalah ketaatan
terhadap hukum. Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang budaya egoisme dari
individu muncul. Ada saja orang yang melanggar hukum dengan bangga malah
menceritakan perbuatannya kepada orang lain. Misalnya pelanggaran terhadap lalu
lintas. Oleh pelakunya menganggap itu hal yang biasa-biasa saja, bahkan dengan bersikap
bangga diri ia menceritakan kembali kepada orang lain perbuatan yang telah
dilakukannya. Hal semacam ini telah mereduksi nilai-nilai kebenaran, sehingga
menjadi suatu kebudayaan yang sebenarnya salah.
Ketiga adalah perilaku
aparatur hukum. Perilaku aparatur hokum baik dengan sengaja ataupun tidak juga
telah mempengaruhi dalam penegakan hukum. Misalnya aparat kepolisian yang dalam
menangani suatu kasus dugaan tindak pidana, tidak jarang dalam kenyataannya
juga langsung memvonis seseorang telah bersalah. Hal ini dapat dilihat denga perilaku
aparat yang dengan “ringan tangan” terhadap tersangka yang melakukan tindak
pidana. Perilaku-perilaku semacam ini justru bukan mendidik seseorang untuk
menghormati akan hokum. Ia menghormati hukum hanya karena takut pada polisi.
Keempat adalah faktor
penegak hukum. Seseorang yang melakukan tindak pidana namun ia selalu bisa
lolos dari jeratan pemidanaan, akan berpotensi bagi orang yang lain untuk
melakukan hal yang sama. Korupsi yang banyak dilakukan namun banyak pelaku yang
lepas dari jeratan hukum berpotensi mendorong orang lain untuk melakukan hal
yang sama. Adanya mafia peradilan telah mempengaruhi semakin bobroknya penegakan
hukum di negeri kita. Aparatur hukum yang sedianya diandalkan untuk menjunjung
tinggi supremasi hukun justru melakukan pelanggaran hukun. Sebagai akibatnya
masyarakat pesimis terhadap penegakan hukum. Seharusnya penegak hukum mampu menegakkan
hukum seadil-adilnya. Tidak ada lagi diskriminasi terhadap si miskin sehingga terciptalah
keadilan. Permasalahan hukum di Indonesia dapat di minimalisasi melalui proses
pendidikan yang diberikan kepada masyarakat, diharapkan wawasan pemikiran mereka
pun semakin meningkat sehingga mempunyai kemampuan untuk memikirkan banyak
alternatif dalam usaha memecahkan masalah hukum dan tidak melakukan pelanggaran
hukum.
4.
Hukum
dan Nilai-Nilai Social Budaya
Hukum dan nilai-nilai social budaya mempunyai
kaitan erat, sebagai mana dikemukakan perintis ahli antropologi hukum seperti
Sir. Henry Maine,A.M. Post dan Yosef Kohler maupun Malinowski dan R.H.Lowie di
abad ini. Dalam kaitan eratnya hukum dan social budaya masyarakat, maka hukum
yang baik adalah hukum yang tercipta atas pencerminan nilai-nilai yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat.
Bangsa kita pada saat ini dalam massa
transisi atas terjadinya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat yang
tradisional ke nilai-nilai yang modern, akan tetapi masih banyak persoalan
nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai baru manakah yang
dapat digantikannya. Berkenaan dengan hal tersebut Mochtar Kusumaatmadja
mengemukakan beberapa hambatan utama pengunbahan identik dengan kepribadian
nasional, sikap intlektual, dan pimpinan masyarakat tidak mempraktekkan
nilai-nilai hetrogenitas bangsa Indonesia.
Apakah sebabnya orang menaati hukum ?
Hukum dapat ditaati oleh masyarakat dapat di
telaah hukum tersebut ditaati karena dibuat oleh pejabat yang berwenang atau
atas kesadaran masyarakat karena atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Berkenaan pernyataan diatas tersebut, maka terdapat teori penting
yang dapat ditelaah atas ketaatan masyarakat terhadap hukum, adalah sebgai
berikut;
(a) Teori Kedaulatan Tuhan/Teokrasi (Allah),
yang bersifat langsung (Tuhan) atau tidak langsung (Penguasa adalah tangan
Tuhan).
(b) Teori Perjanjian Masyarakat, sebagaimana
diungkapkan oleh para pakar filsafat hukum; Hugo de Groot (Grotius) (1583-1645)
“Orang taat dan tunduk pada hukum oleh karena berjanji untuk menaatinya”,
Thomas Hobbes (1588-1679), “Hukum timbul karena perjanjian pada waktu manusia
dalam keadaan berperang guna terciptanya suasana damai antar mereka dan disusul
dengan perjanjiaan semuanya dengan seseorang yang hendak diserai dengan
kekuasaan yang bersifat absolute”, John Locke (1631-1705), “Kekuasaan raja yang
dibatasi oleh konstitusi”, JJ Rousseau (1712-1778), “Kekuasaan yang dimiliki
anggota masyarakat tetap berada pada individu-individu dan tidak diserahkan
pada orang tertentu secara mutlak atau dengan persyaratan tertentu
(pemerintahan demokrasi)”
(c) Teori Kedaulatan Negara, Hans Kelsen
menyebutkan bahwa “orang tunduk pada hukum karena wajib mentaatinya karena
hukum adalah kehendak negara”
(d) Teori Kedaulatan Hukum, hukum mengikat
bukan kearena negara mengendakinya, melainkan karena perumusan dari kesadaran
hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai batin yaitu yang menjelma di dalam
hukum itu (Prof. Mr. H. Krabbe).
Apakah sebabnya negara berhak menghukum
seseorang?.
Kita mengenal berbagai teori kedaulatan
sebagaimana diatas tersebut, maka seseorang dapat dilihat sebab mengapa mereka
tunduk dan taat hukum. Adapun jawaban berbagai teori kedaulatan adalah sebagai
berikut;
a) Teori Kedaulatan Tuhan, mencoba menjawab
orang dapat dihukum karena dia dapat merusak dan membahayakan serta meruntuhkan
sendi-sendi kehidupan masyarakat. Negara adalah badan yang mewakili Tuhan
(Allah) didunia yang mempunyai kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan
ketertiban hukum di dunia.
b) Teori Perjanjian Masyarakat, mencoba
menjawab orang dapat di hukum karena negara mempunyai otoritas negara yang
bersifat monopoli pada kehendak masyarakat itu sendiri adanya kedamaian serta
ketentraman dalam masyarakat.
c) Teori Kedaulatan Negara, mencoba menjawab
orang dapat di hukum karena negaralah yang berdaulat sehingga hanya negara itu
sendiri yang berhak menghukum seseorang yang melanggar ketertiban dalam
masyarakat. Negara dianggap sebagai sesuatu yang mencipatakan
peraturan-peraturan hukum.
5.
Etika dan Kode Etik Profesi Hukum
Dalam arti teknis kegiatan profesi adalah
merupakan kegiatan tertentu yang memperoleh nafkah dari kegiatannya berprofesi
atau berkeahlian dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi,
dengan imbalan financial tinggi pula, sebagai contoh yang termasuk kegiatan
profesi hukum ada dua yaitu Hakim dan Advokat dapat juga dikatakan sebagai “a
tool for sacial engineering” (Roscoe Pound). Adapun kritikal terhadap kegiatan
profesi adalah bahwa kegiatan profesi menunjukkan kompleks okupasional yang
disiplin intelektual yang meliputi humaniora, ilmu alam, dan ilmu social,
terorganisasikan, serta system cultural (nilai-nilai) yang diolah oleh dan
dalam kompleks okupasi (sistem sosial pekerja). Talcott Parsons, mencoba
menjelaskan tentang krisis atas pengembanan kegiatan profesi memiliki tujuan
pokok “essential goals” adalah sebagai berikut; untuk menghasilkan karya yang
objektif “objective achievement” dan pengakuan (bukan hanya lambang akan tetapi
berlaku dalam kontek lain, contoh berlakunya uang) atau rekognisi (kualitas
professional sebagai sebuah pengakuan).
Uraian diatas tersebut kita dapat tarik
benang merah kesimpulan bahwasannya profesi adalah sejumlah fungsi
kemasyarakatan yang berjalan dalam suatu institusional, termasuk pengembangan
serta mengajaran ilmu dan humaniora dan penerapan praktiknya dalam bidang
pelayanan rohani, teknonogi, kedokteran, hukum, informasi, dan pendidikan.
6. Keadilan, ketertiban dan kesejahteraan
masyarakat sebagai wujud masyarakat
bermoral
dan mentaati hukum
Disepakati bahwa manusia adalah makhluk
sosial, adalah makluk yang selalu berinteraksidan membutuhkan bantuan dengan
sesamanya. Dalam konteks hubungan dengan sesama perlu adanya keteraturan
sehingga setiap individu dalam berhubungan secara harmonis dengan individu lain
di sekitarnya. Untuk terciptanya keteraturan tersebut diperlukan aturan yang
disebut oleh kita hukum. Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat
bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau diluar
masyarakat.
Hukum diciptakan dengan tujuan yang
berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga
yang menyatakan kegunaan,ada yang kepastian hukum dan lain-lain. Akan tetapi
dalam kaitan dalam masyarakat, tujuan hukum yang utama dapat di reduksi untuk
ketertiban (order). Mochtar kusumaatmaja (2002,h.3) mengatakan “ketertiban adalah
tujuan pokok dan pertama dari segala hokum,kebutuhan terhadap ketertiban ini
merupakan syarat pokok (fundamentas) bagi adanya suatu masyarakat yang teratur,
ketertiban sebagai tujuan utama hukum yang merupakan fakta objektif yang
berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya”. Untuk mencapai
ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan
antar manusia dalam masyarakat.
Banyak kaidah yang berkembang dan dipatuhi
masyarakat, seperti kaidah agama,kaidah susila,kesopanan,adat kebiasaan dan
kaidah moral. Kaidah hokum sebagai salah satu kaidah sosial tidak berarti
meniadakan kaidah-kaidah lain tersebut,bahkan antarakaidah hokum dengan kaidah
lain saling berhubungan yang satu memperkuat yang lainnya, meskipun ada kalanya
kaidah hokum tidak sesuai atau idak serasi dengan kaidah-kaidah tersebut.
Dahlan thaib (2001,h.3) mengatakan bahwa hukum itu merupakan hokum apabila
dikehendaki, diterima oleh kita sebagai anggota masyarakat ; apabila kita juga
betul-betul berpikir, demikian seperti yang dirumuskan dalam undang-undang, dan
terutama juga betul-betul menjadi realitas hukum dalam kehidupan orang-orang
dalam masyarakat. Dengan demikian hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari
nilai (values) yang brlaku pada suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa
hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja (2002,h.10)
mengatakn “ hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
(the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut”.
DAFTAR PUSTAKA
Hartomo
dan Arnicun Aziz. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi AksaraHerimanto dan
Winarno.
2010. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
hanstoe.wordpress.com/2009/02/21/keadilanketertiban-dan-kesejahteraan-sebagai-wujud-masyarakat-yang-bermoral-dan-mentaati-hukum/
No comments:
Post a Comment