February 8, 2013

Mewujudkan Masyarakat Bermoral, Beretika dan Berbudaya.


PEMBAHASAN

Mewujudkan Masyarakat Bermoral, Beretika dan Berbudaya.

Terciptanya kondisi masyarakat yang bermoral dan beretika sangat penting bagi terciptanya suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis. Disamping itu kesadaran akan budaya memberikan arah bagi perwujudan identitas daerah yang sesuai dengan nilai-nilai leluhur budaya daerah dan menciptakan iklim kondusif dan harmonis sehingga nilai-nilai kearifan lokal akan mampu merespon modernisasi secara positif dan produktif sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan.
Pembangunan agama diarahkan untuk memantapkan fungsi dan peran agama sebagai landasan moral dan etika dalam pembangunan, membina akhlah mulia, memupuk etos kerja, menghargai prestasi, dan menjadi kekuatan pendorong guna mencapai kemajuan dalam pembangunan. Disamping itu, pembangunan agama diarahkan pula untuk meningkatkan kerukunan hidup umat beragama dengan meningkatkan rasa saling percaya dan harmonisasi antar kelompok masyarakat sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis.
Pembangunan dan pemantapan jati diri daerah ditunjukan untuk mewujudkan karakter daerah dan sistem sosial yang berakhir unit modern dan unggul. Jati diri tersebut merupakan kombinasi antar nilai luhur daerah seperti religius, kebersamaan dan persatuan dan nilai modern yang universal seperti etos kerja dan prinsip tata kepemerintahan yang baik. Pembangunan jati diri daerah tersebut dilakukan melalui transformasi, revitalisasi, dan reaktualisasi tata nilai budaya bangsa mempunyai potensi unggul dan menerapkan nilai modern untuk pembangunan. Untuk memperkuat jati diri dan kebanggaan daerah, Pembangunan olah raga diarahkan pada peningkatan budaya dan presentasi olah raga.
Budaya inovasi yang berorientasi iptek terus dikembangkan agar Kota Samarinda menguasai iptek serta mampu berjaya diera persaingan global. Pengembangan budaya iptek tersebut dilakukan dengan meningkatkan penghargaan masyarakat terhadap iptek melalui pengembangan budaya membaca dan menulis, masyarakat pembelajar, masyarakat yang cerdas, kritis, dan kreatif dalam rangka pengembangan tradisi iptek, bersama dengan pengarahan budaya konsumtif budaya produktif. Bentuk- bentuk pengungkapan kreatifitas antara lain melalui kesenian, tetap didorong untuk mewujudkan keseimbangan aspek material, spritual dan emosional. Pengembangan iptek serta kesenian diletakkan dalam kerangka peningkatan harkat, martabat dan peradapan manusia.

1.    Masyarakat Bermoral

Seringkali kita mendengar kata “moral‟ diucapkan banyak orang seperti ungkapan,
amoral, moralitas bangsa, dasar tidak bermoral, anak tidak bermoral, moral bejat, tidak punya moral, dasar tidak punya moral dan lain sebagainya. Kata moral seringkali diucapkan orang dan biasanya kata-kata seperti itu akan sering muntah begitu saja jika dalam kondisi marah dalam bentuk umpatan atau juga sering diucapkan dalam memberisuatu nasehat atau dakwah, seperti seringkali di katakan oleh para ustad,para kyai maupun para pemimpin.

Pengertian Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinyadia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.Ciri manusia bermoral atau manusia tidak bermoral dapat dilihatdari pengertian dan beberapa istilah terkait pengertian moral.

Ciri orang bermoral dan tidak bermoral adalah jika seseorang melakukan tindakan sesuai dengan nilai rasa dan budaya yang berlaku ditengah masyarakat tersebut dan dapat diterima dalam lingkungan kehidupan sesuai aturan yang berlaku maka orang tersebut dinilai memiliki moral. Kata moral atau akhlak sering kali digunakan untuk menunjukkan pada suatu perilaku baik atau buruk, sopan santun dan kesesuaiannya dengan nilai-nilai kehidupan pada seseorang. Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan baik moral, etika, akhlak, budi pekerti mempunyai penekanan yang sama, yaitu adanya kualitas-kualitas yang baik yang teraplikasi dalam perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari, baik sifat-sifat yang ada dalam dirinya maupun dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat. Nilai baik sekaligus ciri manusia bermoral sebagai makhluk individu dapat dilihat dengan adanya perilaku seperti jujur, dapat dipercaya, adil, bertanggung jawab dan lain-lain, maupun sebagai makhluk sosial dalam hubungannya dengan masyarakat, seperti kejujuran, penghormatan sesama manusia, tanggung jawab, kerukunan, kesetiakawanan, solidaritas sosial dan sebagainya.

2.    Kesadaran Hukum

Disepakati bahwa manusia adalah makhluk sosial, yaitu makluk yang selalu berinteraksi dan membutuhkan bantuan dengan sesamanya.Dalam konteks hubungan dengan sesama perlu adanya keteraturan sehingga setiap individu dalam berhubungan secara harmonis dengan individu lain di sekitarnya. Untuk terciptanya keteraturan tersebut diperlukan aturan yang disebut oleh kita hukum. Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau diluar masyarakat.

Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang kepastian hukum dan lain-lain. Akan tetapi dalam kaitan dalam masyarakat, tujuan hukum yang utama dapat direduksi untuk ketertiban (order). Mochtar Kusumaatmaja (2002,hlm.3) mengatakan “ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat yang teratur, ketertiban sebagai tujuan utama hukum yang merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya”. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan adanya kepastiandalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.

Banyak kaidah yang berkembang dan dipatuhi masyarakat, seperti kaidah agama, kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah moral.Kaidah hukum sebagai salah satu kaidah sosial tidak berarti meniadakan kaidah-kaidah lain tersebut,bahkan antara kaidah hukum dengan kaidah lain saling berhubungan yang satu memperkuat yang lainnya, meskipun ada kalanya kaidah hukum tidak sesuai atau tidak serasi dengan kaidah-kaidah tersebut.

Dahlan Thaib (2001,hlm.3) mengatakan bahwa hukum itu merupakan hukum apabila dikehendaki, diterima oleh kita sebagai anggotamasyarakat ; apabila kita juga betul-betul berpikir, demikian seperti yang dirumuskan dalam undang-undang, dan terutama juga betul-betul menjadi realitas hukum dalam kehidupan orang-orang dalam masyarakat. Dengan demikian hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku pada suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Kesadaran hukum pada hakikatnya berpangkal pada adanya suatu pengetahuan tentang ketentuan hukum yang mengatur hidup dalam hidup bersama. Dari pengakuan mengenai ketentuan hukum ini akan lahir suatu pengakuan dan penghargaan terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang dimaksud, sehingga timbul penghayatan terhadap ketentuan hokum tersebut.Kalau kondisi seperti ini telah terdapat pada suatu negara selaku pelaku pendukung negara, maka terbinalah kesadaran hukum, yang berartipula ketertiban dan kepastian hukum dalam kehidupan bersama tercipta.

3.    Problematika Nilai, Moral, dan Hukum

Hukum sebagai norma harus didasarkan pada nilai moral. Apa artinya Undang-Undang jika tidak disertai moralitas. Norma moral adalah norma yang paling dasar. Norma moral menentukan bagaimana kita menilai seseorang. Suatu hukum yang bertentangan dengan norma moral kehilangan kekuatannya, demikian kata Thomas Aquinas. Secara ideal, seharusnya manusia taat pada norma moral dan norma hukum yang tumbuh dan tercipta dalam hidup sebagi upaya mewujudkan kehidupan yang damai, aman, dan sejahtera. Namun dalam kenyataannya terjadi berbagai pelanggaran, baik terhadap norma moral maupun norma hukum. Pelanggaran norma moral merupakan suatu pelanggaran etik, sedangkan pelanggaran terhadap norma hukum merupakan suatu pelanggaran hukum.

Hukum adalah alat pembaruan dalam masyarakat. Roscoe Pound mengutarakan hukum adalah sebagai alat pembaruan dalam masyarakat dalam bukunya “An Introduction to the Philosophy of Low” (1954). Dan dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara Indonesia yaitu konsep ” Law as a tool of sacial engineering” yang merupakan inti dari aliran Pragmatic Legal Realism. Konsep tersebut adalah merupakan penyesuaian antara situasi kondisi Indonesia dengan filsafat budaya Northrop dan Policyoriented dari Laswell dan Mc Dougal.

Hukum adalah “sarana” pembaruan dalam masyarakat Indonesia luas jangkauannya dan ruang lingkupnya di Amerika Serikat tempat kelahirannya. Sehingga hukum yang digunakan dalam pembaharuan berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi antar keduanya. Agar pelaksanaan perundang-undangan bertujuan pembaruan sebagaimana mestinya hendaknya perundang-undangan dibentuk sesuai dengan inti aliran Sociological Jurisprudence yaitu hukum sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) atau (dapat dikatakan pencerminan narma-norma dalam masyarakat), guna pembaruan serta menguban sikap mental masyarakat tradisional kea rah modern. Sebagai contoh keharusan pembuatan sertifikat tanah dan lain sebagainya.

1.Pelanggaran Etik
Kebutuhan akan norma etik di oleh manusia diwujudkan dengan membuat serangkaian norma etik untuk suatu kegiatan atau profesi. Kodeetik profesi berisi ketentuan-ketentuan normatif etik yang seharusnya dilakukan oleh anggota profesi. Kode etik profesi dibutuhkan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan disisi lain melindungi, masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian. Meskipun telah memiliki kode etik, masih terjadi pelanggaran terhadap profesi. Contohnya: Dokter melanggar kode etik kedokteran. Pelanggaran terhadap kode etik tidak diberikan sanksi lahiriah ataupun yang bersifat memaksa. Pelanggaran etik biasanya mendapat sanksi etik berupa rasa menyesal, bersalah, dan malu. Bila seorang profesi melanggar kode etik profesinya ia akan mendapatkan sanksi etik darilembaga profesi, seperti teguran, dicabut keanggotaannya, atau tidak diperbolehkan lagi menjalani profesi tersebut.

2.Pelanggaran Hukum
Problema hukum yang berlaku dewasa ini adalah masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat. Akibatnya banyak terjadi pelanggaran hukum. Bahkan, pada hal-hal kecil yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Misalnya, secara sengaja tidak membawa SIM dengan sengaja dengan alasan hanya untuk sementara waktu.
Pelanggaran hukum dalam arti sempit berarti pelanggaran terhadap perundang-undangan negara. Sanksi atas pelanggaran hukum adalah sanksi pidana dari negara yang bersifat lahiriah dan memaksa masyarakat secara resmi (negara) berhak memberi sanksi bagi warga negara yang melanggar hukum. Bila dicermati, ada beberapa hal yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum pertama kesadaran/pengetahuan hukum yang lemah. Kesadaran/pengetahuan hukum yang lemah dapat berefek pada pengambilan jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan masing-masing. masyarakat yang tidak mengerti akan hukum, berpotensi besar dalam melakukan pelanggaran terhadap hukum.
Dalam hukum, dikenal dengan adanya fiksi hukum artinya semua dianggap mengerti akan hukum. Seseorang tidak dapat melepaskan diri dari kesalahan akan perbuatannya dengan alasan bahwa ia tidak mengerti hukum atau suatu peraturan perundang-undangan. Jadi dalam hal ini sudah sewajarnya bagi setiap individu untuk mengetahui hukum. Sedangkan bagi aparatur hukum atau elemen lain yang concern pada supremasi hukum sudah seharusnya memberikan kesadaran hukum bagi tiap individu.
Kedua adalah ketaatan terhadap hukum. Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang budaya egoisme dari individu muncul. Ada saja orang yang melanggar hukum dengan bangga malah menceritakan perbuatannya kepada orang lain. Misalnya pelanggaran terhadap lalu lintas. Oleh pelakunya menganggap itu hal yang biasa-biasa saja, bahkan dengan bersikap bangga diri ia menceritakan kembali kepada orang lain perbuatan yang telah dilakukannya. Hal semacam ini telah mereduksi nilai-nilai kebenaran, sehingga menjadi suatu kebudayaan yang sebenarnya salah.
Ketiga adalah perilaku aparatur hukum. Perilaku aparatur hokum baik dengan sengaja ataupun tidak juga telah mempengaruhi dalam penegakan hukum. Misalnya aparat kepolisian yang dalam menangani suatu kasus dugaan tindak pidana, tidak jarang dalam kenyataannya juga langsung memvonis seseorang telah bersalah. Hal ini dapat dilihat denga perilaku aparat yang dengan “ringan tangan” terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana. Perilaku-perilaku semacam ini justru bukan mendidik seseorang untuk menghormati akan hokum. Ia menghormati hukum hanya karena takut pada polisi.
Keempat adalah faktor penegak hukum. Seseorang yang melakukan tindak pidana namun ia selalu bisa lolos dari jeratan pemidanaan, akan berpotensi bagi orang yang lain untuk melakukan hal yang sama. Korupsi yang banyak dilakukan namun banyak pelaku yang lepas dari jeratan hukum berpotensi mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama. Adanya mafia peradilan telah mempengaruhi semakin bobroknya penegakan hukum di negeri kita. Aparatur hukum yang sedianya diandalkan untuk menjunjung tinggi supremasi hukun justru melakukan pelanggaran hukun. Sebagai akibatnya masyarakat pesimis terhadap penegakan hukum. Seharusnya penegak hukum mampu menegakkan hukum seadil-adilnya. Tidak ada lagi diskriminasi terhadap si miskin sehingga terciptalah keadilan. Permasalahan hukum di Indonesia dapat di minimalisasi melalui proses pendidikan yang diberikan kepada masyarakat, diharapkan wawasan pemikiran mereka pun semakin meningkat sehingga mempunyai kemampuan untuk memikirkan banyak alternatif dalam usaha memecahkan masalah hukum dan tidak melakukan pelanggaran hukum.

4.     Hukum dan Nilai-Nilai Social Budaya

Hukum dan nilai-nilai social budaya mempunyai kaitan erat, sebagai mana dikemukakan perintis ahli antropologi hukum seperti Sir. Henry Maine,A.M. Post dan Yosef Kohler maupun Malinowski dan R.H.Lowie di abad ini. Dalam kaitan eratnya hukum dan social budaya masyarakat, maka hukum yang baik adalah hukum yang tercipta atas pencerminan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Bangsa kita pada saat ini dalam massa transisi atas terjadinya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat yang tradisional ke nilai-nilai yang modern, akan tetapi masih banyak persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai baru manakah yang dapat digantikannya. Berkenaan dengan hal tersebut Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan beberapa hambatan utama pengunbahan identik dengan kepribadian nasional, sikap intlektual, dan pimpinan masyarakat tidak mempraktekkan nilai-nilai hetrogenitas bangsa Indonesia.

Apakah sebabnya orang menaati hukum ?
Hukum dapat ditaati oleh masyarakat dapat di telaah hukum tersebut ditaati karena dibuat oleh pejabat yang berwenang atau atas kesadaran masyarakat karena atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Berkenaan pernyataan diatas tersebut, maka terdapat teori penting yang dapat ditelaah atas ketaatan masyarakat terhadap hukum, adalah sebgai berikut;
(a) Teori Kedaulatan Tuhan/Teokrasi (Allah), yang bersifat langsung (Tuhan) atau tidak langsung (Penguasa adalah tangan Tuhan).
(b) Teori Perjanjian Masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh para pakar filsafat hukum; Hugo de Groot (Grotius) (1583-1645) “Orang taat dan tunduk pada hukum oleh karena berjanji untuk menaatinya”, Thomas Hobbes (1588-1679), “Hukum timbul karena perjanjian pada waktu manusia dalam keadaan berperang guna terciptanya suasana damai antar mereka dan disusul dengan perjanjiaan semuanya dengan seseorang yang hendak diserai dengan kekuasaan yang bersifat absolute”, John Locke (1631-1705), “Kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi”, JJ Rousseau (1712-1778), “Kekuasaan yang dimiliki anggota masyarakat tetap berada pada individu-individu dan tidak diserahkan pada orang tertentu secara mutlak atau dengan persyaratan tertentu (pemerintahan demokrasi)”
(c) Teori Kedaulatan Negara, Hans Kelsen menyebutkan bahwa “orang tunduk pada hukum karena wajib mentaatinya karena hukum adalah kehendak negara”
(d) Teori Kedaulatan Hukum, hukum mengikat bukan kearena negara mengendakinya, melainkan karena perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai batin yaitu yang menjelma di dalam hukum itu (Prof. Mr. H. Krabbe).

Apakah sebabnya negara berhak menghukum seseorang?.
Kita mengenal berbagai teori kedaulatan sebagaimana diatas tersebut, maka seseorang dapat dilihat sebab mengapa mereka tunduk dan taat hukum. Adapun jawaban berbagai teori kedaulatan adalah sebagai berikut;
a) Teori Kedaulatan Tuhan, mencoba menjawab orang dapat dihukum karena dia dapat merusak dan membahayakan serta meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Negara adalah badan yang mewakili Tuhan (Allah) didunia yang mempunyai kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia.
b) Teori Perjanjian Masyarakat, mencoba menjawab orang dapat di hukum karena negara mempunyai otoritas negara yang bersifat monopoli pada kehendak masyarakat itu sendiri adanya kedamaian serta ketentraman dalam masyarakat.
c) Teori Kedaulatan Negara, mencoba menjawab orang dapat di hukum karena negaralah yang berdaulat sehingga hanya negara itu sendiri yang berhak menghukum seseorang yang melanggar ketertiban dalam masyarakat. Negara dianggap sebagai sesuatu yang mencipatakan peraturan-peraturan hukum.

5.    Etika dan Kode Etik Profesi Hukum

Dalam arti teknis kegiatan profesi adalah merupakan kegiatan tertentu yang memperoleh nafkah dari kegiatannya berprofesi atau berkeahlian dengan cara berkarya dan hasil karya yang bermutu tinggi, dengan imbalan financial tinggi pula, sebagai contoh yang termasuk kegiatan profesi hukum ada dua yaitu Hakim dan Advokat dapat juga dikatakan sebagai “a tool for sacial engineering” (Roscoe Pound). Adapun kritikal terhadap kegiatan profesi adalah bahwa kegiatan profesi menunjukkan kompleks okupasional yang disiplin intelektual yang meliputi humaniora, ilmu alam, dan ilmu social, terorganisasikan, serta system cultural (nilai-nilai) yang diolah oleh dan dalam kompleks okupasi (sistem sosial pekerja). Talcott Parsons, mencoba menjelaskan tentang krisis atas pengembanan kegiatan profesi memiliki tujuan pokok “essential goals” adalah sebagai berikut; untuk menghasilkan karya yang objektif “objective achievement” dan pengakuan (bukan hanya lambang akan tetapi berlaku dalam kontek lain, contoh berlakunya uang) atau rekognisi (kualitas professional sebagai sebuah pengakuan).
Uraian diatas tersebut kita dapat tarik benang merah kesimpulan bahwasannya profesi adalah sejumlah fungsi kemasyarakatan yang berjalan dalam suatu institusional, termasuk pengembangan serta mengajaran ilmu dan humaniora dan penerapan praktiknya dalam bidang pelayanan rohani, teknonogi, kedokteran, hukum, informasi, dan pendidikan.

6.    Keadilan, ketertiban dan kesejahteraan masyarakat sebagai wujud masyarakat  
bermoral dan mentaati hukum

Disepakati bahwa manusia adalah makhluk sosial, adalah makluk yang selalu berinteraksidan membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dalam konteks hubungan dengan sesama perlu adanya keteraturan sehingga setiap individu dalam berhubungan secara harmonis dengan individu lain di sekitarnya. Untuk terciptanya keteraturan tersebut diperlukan aturan yang disebut oleh kita hukum. Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau diluar masyarakat.

Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan,ada yang kepastian hukum dan lain-lain. Akan tetapi dalam kaitan dalam masyarakat, tujuan hukum yang utama dapat di reduksi untuk ketertiban (order). Mochtar kusumaatmaja (2002,h.3) mengatakan “ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hokum,kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamentas) bagi adanya suatu masyarakat yang teratur, ketertiban sebagai tujuan utama hukum yang merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya”. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.

Banyak kaidah yang berkembang dan dipatuhi masyarakat, seperti kaidah agama,kaidah susila,kesopanan,adat kebiasaan dan kaidah moral. Kaidah hokum sebagai salah satu kaidah sosial tidak berarti meniadakan kaidah-kaidah lain tersebut,bahkan antarakaidah hokum dengan kaidah lain saling berhubungan yang satu memperkuat yang lainnya, meskipun ada kalanya kaidah hokum tidak sesuai atau idak serasi dengan kaidah-kaidah tersebut. Dahlan thaib (2001,h.3) mengatakan bahwa hukum itu merupakan hokum apabila dikehendaki, diterima oleh kita sebagai anggota masyarakat ; apabila kita juga betul-betul berpikir, demikian seperti yang dirumuskan dalam undang-undang, dan terutama juga betul-betul menjadi realitas hukum dalam kehidupan orang-orang dalam masyarakat. Dengan demikian hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang brlaku pada suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja (2002,h.10) mengatakn “ hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut”.



DAFTAR PUSTAKA

Hartomo dan Arnicun Aziz. 1990. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi AksaraHerimanto dan
Winarno. 2010. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
hanstoe.wordpress.com/2009/02/21/keadilanketertiban-dan-kesejahteraan-sebagai-wujud-masyarakat-yang-bermoral-dan-mentaati-hukum/

No comments: