Agama
dan iptek merupakan satu kesatuan
Pandangan
Islam terhadap IPTEK
Peradaban
Barat moderen dan postmodern saat ini memang memperlihatkan kemajuan dan
kebaikan kesejahteraan material yang seolah menjanjikan kebahagian hidup bagi
umat manusia. Namun karena kemajuan tersebut tidak seimbang, pincang, lebih
mementingkan kesejahteraan material bagi sebagian individu dan sekelompok
tertentu negara-negara maju (kelompok G-8) saja dengan mengabaikan, bahkan
menindas hak-hak dan merampas kekayaan alam negara lain dan orang lain yang
lebih lemah kekuatan iptek, ekonomi dan militernya, maka kemajuan di Barat
melahirkan penderitaan kolonialisme-imperialisme (penjajahan) di Dunia Timur
& Selatan. Kemajuan Iptek di Barat, yang didominasi oleh pandangan dunia
dan paradigma sains (Iptek) yang positivistik-empirik sebagai anak kandung
filsafat-ideologi materialisme-sekuler, pada akhirnya juga telah melahirkan
penderitaan dan ketidakbahagiaan psikologis/ruhaniah pada banyak manusia baik
di Barat maupun di Timur.
Negara-negara
yang berpenduduk mayoritas Muslim, saat ini pada umumnya adalah negara-negara
berkembang atau negara terkebelakang, yang lemah secara ekonomi dan juga lemah
atau tidak menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan sains-teknologi. Karena
nyatanya saudara-saudara Muslim kita itu banyak yang masih bodoh dan lemah,
maka mereka kehilangan harga diri dan kepercayaan dirinya. Beberapa di antara
mereka kemudian menjadi hamba budaya dan pengikut buta kepentingan
negara-negara Barat. Mereka menyerap begitu saja nilai-nilai, ideologi dan
budaya materialis (’matre’) dan sekular (anti Tuhan) yang dicekokkan melalui
kemajuan teknologi informasi dan media komunikasi Barat. Akibatnya
krisis-krisis sosial-moral dan kejiwaan pun menular kepada sebagian besar bangsa-bangsa
Muslim.
Kenyataan
memprihatikan ini sangat ironis. Umat Islam yang mewarisi ajaran suci Ilahiah
dan peradaban dan Iptek Islam yang jaya di masa lalu, justru kini terpuruk di
negerinya sendiri, yang sebenarnya kaya sumber daya alamnya, namun miskin
kualitas sumberdaya manusianya (pendidikan dan Ipteknya). Ketidakadilan global
ini terlihat dari fakta bahwa 80% kekayaan dunia hanya dikuasai oleh 20 %
penduduk kaya di negara-negara maju. Sementara 80% penduduk dunia di
negara-negara miskin hanya memperebutkan remah-remah sisa makanan pesta pora
bangsa-bangsa negara maju. Ironis bahwa Indonesia yang sangat kaya dengan
sumber daya alam minyak dan gas bumi, justru mengalami krisis dan kelangkaan
BBM. Ironis bahwa di tengah keberlimpahan hasil produksi gunung emas-perak dan
tembaga serta kayu hasil hutan yang ada di Indonesia, kita justru mengalami
kesulitan dan krisis ekonomi, kelaparan, busung lapar, dan berbagai penyakit
akibat kemiskinan rakyat. Kemana harta kekayaan kita yang Allah berikan kepada
tanah air dan bangsa Indonesia ini? Mengapa kita menjadi negara penghutang
terbesar dan terkorup di dunia? Kenyataan menyedihkan tersebut sudah selayaknya
menjadi cambuk bagi kita bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim untuk gigih
memperjuangkan kemandirian politik, ekonomi dan moral bangsa dan umat.
Kemandirian itu tidak bisa lain kecuali dengan pembinaan mental-karakter dan
moral (akhlak) bangsa-bangsa Islam sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dilandasi keimanan-taqwa kepada Allah swt. Serta melawan
pengaruh buruk budaya sampah dari Barat yang Sekular, Matre dan hedonis
(mempertuhankan kenikmatan hawa nafsu). Akhlak yang baik muncul dari keimanan
dan ketaqwaan kepada Allah swt Sumber segala Kebaikan, Keindahan dan Kemuliaan.
Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt hanya akan muncul bila diawali dengan
pemahaman ilmu pengetahuan dan pengenalan terhadap Tuhan Allah swt dan terhadap
alam semesta sebagai tajaliyat (manifestasi) sifat-sifat KeMahaMuliaan,
Kekuasaan dan Keagungan-Nya. Islam, sebagai agama penyempurna dan paripurna
bagi kemanusiaan, sangat mendorong dan mementingkan umatnya untuk mempelajari,
mengamati, memahami dan merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengan
kata lain Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Kekuatan Iptek
Di
negara ini, gagasan tentang perlunya integrasi pendidikan imtak dan iptek ini
sudah lama digulirkan. Profesor B.J. Habibie, adalah orang pertama yang
menggagas integrasi imtak dan iptek ini. Hal ini, selain karena adanya problem
dikotomi antara apa yang dinamakan ilmu-ilmu umum (sains) dan ilmu-ilmu agama
(Islam), juga disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan iptek dalam
sistem pendidikan kita tampaknya berjalan sendiri, tanpa dukungan asas iman dan
takwa yang kuat, sehingga pengembangan dan kemajuan iptek tidak memiliki nilai
tambah dan tidak memberikan manfaat yang cukup berarti bagi kemajuan dan
kemaslahatan umat dan bangsa dalam arti yang seluas-luasnya.
Kekhwatiran
ini, cukup beralasan, karena sejauh ini sistem pendidikan kita tidak cukup
mampu menghasilkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt
sebagaimana diharapkan. Berbagai tindak kejahatan sering terjadi dan banyak
dilakukan justru oleh orang-orang yang secara akademik sangat terpelajar,
bahkan mumpuni. Ini berarti, aspek pendidikan turut menyumbang dan memberikan
saham bagi kebangkrutan bangsa yang kita rasakan sekarang. Kenyataan ini
menjadi salah satu catatan mengenai raport merah pendidikan nasional kita.
Secara lebih spesifik,
integrasi pendidikan imtak dan iptek ini diperlukan karena empat alasan.
Pertama, sebagaimana
telah dikemukakan, iptek akan memberikan berkah dan manfaat yang sangat besar
bagi kesejahteraan hidup umat manusia bila iptek disertai oleh asas iman dan
takwa kepada Allah swt. Sebaliknya, tanpa asas imtak, iptek bisa disalahgunakan
pada tujuan-tujuan yang bersifat destruktif. Iptek dapat mengancam nilai-nilai
kemanusiaan. Jika demikian, iptek hanya absah secara metodologis, tetapi batil
dan miskin secara maknawi. (6)
Kedua, pada
kenyataannya, iptek yang menjadi dasar modernisme, telah menimbulkan pola dan
gaya hidup baru yang bersifat sekularistik, materialistik, dan hedonistik, yang
sangat berlawanan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh bangsa
kita. (7)
Ketiga, dalam hidupnya,
manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti (kebutuhan jasmani), tetapi juga
membutuhkan imtak dan nilai-nilai sorgawi (kebutuhan spiritual). Oleh karena
itu, penekanan pada salah satunya, hanya akan menyebabkan kehidupan menjadi
pincang dan berat sebelah, dan menyalahi hikmat kebijaksanaan Tuhan yang telah
menciptakan manusia dalam kesatuan jiwa raga, lahir dan bathin, dunia dan
akhirat. (8)
Keempat, imtak menjadi
landasan dan dasar paling kuat yang akan mengantar manusia menggapai
kebahagiaan hidup. Tanpa dasar imtak, segala atribut duniawi, seperti harta,
pangkat, iptek, dan keturunan, tidak akan mampu alias gagal mengantar manusia
meraih kebahagiaan. Kemajuan dalam semua itu, tanpa iman dan upaya mencari
ridha Tuhan, hanya akan mengahsilkan fatamorgana yang tidak menjanjikan apa-apa
selain bayangan palsu (Q.S. An-Nur:39). Maka integrasi imtak dan iptek harus
diupayakan dalam format yang tepat sehingga keduanya berjalan seimbang (hand in
hand) dan dapat mengantar kita meraih kebaikan dunia (hasanah fi al-Dunya) dan
kebaikan akhirat (hasanah fi al-akhirah) seperti do’a yang setiap saat kita panjatkan
kepada Tuhan (Q.S. Al-Baqarah :201).
Menuju
Integrasi Imtak dan Iptek
Untuk
membangun sistem pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan imtak dan iptek
dalam sistem pendidikan nasional kita, kita harus melihat kembali aspek-aspek
pendidikan kita, terutama berkaitan dengan empat hal berikut ini, yaitu:
1. Filsafat dan orientasi pendidikan (termasuk di
dalamnya filsafat manusia)
2. Tujuan Pendidikan
3. Filsafat ilmu pengetahuan (Epistemologi) dan
4. Pendekatan
dan metode pembelajaran.
Dalam
filsafat pendidikan konvensional, pendidikan dipahami sebagai proses
mengalihkan kebudayaan dari satu generasi ke generasi lain. Filsafat pendidikan
semacam ini mengandung banyak kelemahan. Selain dapat timbul degradasi
(penurunan kualitas pendidikan) setiap saat, pendidikan cenderung dipahami
sebagai transfer of knowledge semata dengan hanya menyentuh satu aspek saja,
aspek kognitif dan kecerdasan intelektual (IQ) semata dengan mengabaikan
kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) peserta didik. Dengan
filosofi seperti itu, peserta didik sering diperlakukan sebagai makhluk tidak
berkesadaran. Akibatnya, pendidikan tidak berhasil melaksanakan fungsi dasarnya
sebagai wahana pemberdayaan manusia dan peningkatan harkat dan martabat manusia
dalam arti yang sebenar-benarnya.
Penyikapan
terhadap Perkembangan IPTEK
Setiap
manusia diberikan hidayah dari Allah swt berupa “alat” untuk mencapai dan
membuka kebenaran. Hidayah tersebut adalah (1) indera, untuk menangkap
kebenaran fisik, (2) naluri, untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup
manusia secara probadi maupun sosial, (3) pikiran dan atau kemampuan rasional
yang mampu mengembangkan kemampuan tiga jenis pengetahuan akali (pengetahuan
biasa, ilmiah dan filsafi). Akal juga merupakan penghantar untuk menuju
kebenaran tertinggi, (4) imajinasi, daya khayal yang mampu menghasilkan
kreativitas dan menyempurnakan pengetahuannya, (5) hati nurani, suatu kemampuan
manusia untuk dapat menangkap kebenaran tingkah laku manusia sebagai makhluk
yang harus bermoral.
Dalam
menghadapi perkembangan budaya manusia dengan perkembangan IPTEK yang sangat
pesat, dirasakan perlunya mencari keterkaitan antara sistem nilai dan
norma-norma Islam dengan perkembangan tersebut. Menurut Mehdi Ghulsyani (1995),
dalam menghadapi perkembangan IPTEK ilmuwan muslim dapat dikelompokkan dalam
tiga kelompok; (1) Kelompok yang menganggap IPTEK moderen bersifat netral dan
berusaha melegitimasi hasil-hasil IPTEK moderen dengan mencari ayat-ayat
Al-Quran yang sesuai; (2) Kelompok yang bekerja dengan IPTEK moderen, tetapi
berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmu agar dapat menyaring
elemen-elemen yang tidak islami, (3) Kelompok yang percaya adanya IPTEK Islam
dan berusaha membangunnya. Untuk kelompok ketiga ini memunculkan nama Al-Faruqi
yang mengintrodusir istilah “islamisasi ilmu pengetahuan”. Dalam konsep Islam
pada dasarnya tidak ada pemisahan yang tegas antara ilmu agama dan ilmu
non-agama. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia
merupakan “jalan” untuk menemukan kebenaran Allah itu sendiri. Sehingga IPTEK
menurut Islam haruslah bermakna ibadah. Yang dikembangkan dalam budaya Islam
adalah bentuk-bentuk IPTEK yang mampu mengantarkan manusia meningkatkan derajat
spiritialitas, martabat manusia secara alamiah. Bukan IPTEK yang merusak alam
semesta, bahkan membawa manusia ketingkat yang lebih rendah martabatnya.
Dari
uraian di atas “hakekat” penyikapan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari yang
islami adalah memanfaatkan perkembangan IPTEK untuk meningkatkan martabat
manusia dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah swt. Kebenaran IPTEK
menurut Islam adalah sebanding dengan kemanfaatannya IPTEK itu sendiri. IPTEK
akan bermanfaat apabila (1) mendekatkan pada kebenaran Allah dan bukan
menjauhkannya, (2) dapat membantu umat merealisasikan tujuan-tujuannya (yang
baik), (3) dapat memberikan pedoman bagi sesama, (4) dapat menyelesaikan
persoalan umat. Dalam konsep Islam sesuatu hal dapat dikatakan mengandung
kebenaran apabila ia mengandung manfaat dalam arti luas.
Keselarasan
IMTAQ dan IPTEK
“Barang siapa ingin
menguasai dunia dengan ilmu, barang siapa ingin menguasai akhirat dengan ilmu,
dan barang siapa ingin menguasai kedua-duanya juga harus dengan ilmu”
(Al-Hadist).
Perubahan
lingkungan yang serba cepat dewasa ini sebagai dampak globalisasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), harus diakui telah
memberikan kemudahan terhadap berbagai aktifitas dan kebutuhan hidup manusia.
Di
sisi lain, memunculkan kekhawatiran terhadap perkembangan perilaku khususnya
para pelajar dan generasi muda kita, dengan tumbuhnya budaya kehidupan baru
yang cenderung menjauh dari nilai-nilai spiritualitas. Semuanya ini menuntut
perhatian ekstra orang tua serta pendidik khususnya guru, yang kerap
bersentuhan langsung dengan siswa.
Dari
sisi positif, perkembangan iptek telah memunculkan kesadaran yang kuat pada
sebagian pelajar kita akan pentingnya memiliki keahlian dan keterampilan.
Utamanya untuk menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik, dalam rangka
mengisi era milenium ketiga yang disebut sebagai era informasi dan era
bio-teknologi. Ini sekurang-kurangnya telah memunculkan sikap optimis, generasi
pelajar kita umumya telah memiliki kesiapan dalam menghadapi perubahan itu.
Don
Tapscott, dalam bukunya Growing up Digital (1999), telah melakukan survei
terhadap para remaja di berbagai negara. Ia menyimpulkan, ada sepuluh ciri dari
generasi 0 (zero), yang akan mengisi masa tersebut. Ciri-ciri itu, para remaja
umumnya memiliki pengetahuan memadai dan akses yang tak terbatas. Bergaul
sangat intensif lewat internet, cenderung inklusif, bebas berekspresi, hidup
didasarkan pada perkembangan teknologi, sehingga inovatif, bersikap lebih
dewasa, investigative arahnya pada how use something as good as possible bukan
how does it work. Mereka pemikir cepat (fast thinker), peka dan kritis terutama
pada informasi palsu, serta cek ricek menjadi keharusan bagi mereka.
Sikap
optimis terhadap keadaan sebagian pelajar ini tentu harus diimbangi dengan
memberikan pemahaman, arti penting mengembangkan aspek spiritual keagamaan dan
aspek pengendalian emosional. Sehingga tercapai keselarasan pemenuhan kebutuhan
otak dan hati (kolbu). Penanaman kesadaran pentingnya nilai-nilai agama memberi
jaminan kepada siswa akan kebahagiaan dan keselamatan hidup, bukan saja selama
di dunia tapi juga kelak di akhirat.
Jika hal itu dilakukan,
tidak menutup kemungkinan para siswa akan terhindar dari kemungkinan melakukan
perilaku menyimpang, yang justru akan merugikan masa depan mereka. Maka
sebaiknya kita sebagai generasi penerus harus memperhatikan keselarasan iptek
dan agama.
Keutamaan
Mukmin yang berilmu
Keutamaan orang-orang
yang berilmu dan beriman sekaligus, diungkapkan Allah dalam ayat-ayat berikut:
“Katakanlah: ‘Adakah
sama orang-orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?’ Sesungguhnya
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar
[39] : 9).
Rasulullah
saw pun memerintahkan para orang tua agar mendidik anak-anaknya dengan sebaik
mungkin. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka itu diciptakan buat menghadapi
zaman yang sama sekali lain dari zamanmu kini.” (Al-Hadits Nabi saw). “Menuntut
ilmu itu diwajibkan bagi setiap Muslimin, Sesungguhnya Allah mencintai para penuntut
ilmu.” (Hadis Nabi saw).
Mengapa kita harus
menguasai IPTEK? Terdapat tiga alasan pokok, yakni:
1. Ilmu
pengetahuan yg berasal dari dunia Islam sudah diboyong oleh negara-negara
barat. Ini fakta, tdk bisa dipungkiri
2. Negara-negara
barat berupaya mencegah terjadinya pengembangan IPTEK di negara-negara Islam.
Ini fakta yang tak dapat dipungkiri.
3. Adanya
upaya-upaya untuk melemahkan umat Islam dari memikirkan kemajuan IPTEK-nya,
misalnya umat Islam disodori persoalan-persoalan klasik agar umat Islam sibuk sendiri,
ramai sendiri dan akhirnya bertengkar sendiri.
Selama
20 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di dunia telah meningkat secara perlahan.
Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Muslim dunia
adalah 500 juta; sekarang, angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Kini, setiap
empat orang salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah
penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di
dunia. Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah
penduduk yang terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah
orang-orang mualaf yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena
yang menonjol, terutama setelah serangan terhadap World Trade Center pada
tanggal 11 September 2001. Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang,
terutama umat Muslim, tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang
(khususnya warga Amerika) kepada Islam. Orang di Barat berbicara banyak tentang
agama macam apakah Islam itu, apa yang dikatakan Al Quran, kewajiban apakah
yang harus dilaksanakan sebagai seorang Muslim, dan bagaimana kaum Muslim
dituntut melaksanakan urusan dalam kehidupannya. Ketertarikan ini secara
alamiah telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang berpaling kepada
Islam. Demikianlah, perkiraan yang umum terdengar pasca peristiwa 11 September
2001 bahwa “serangan ini akan mengubah alur sejarah dunia”, dalam beberapa hal,
telah mulai nampak kebenarannya. Proses kembali kepada nilai-nilai agama dan
spiritual, yang dialami dunia sejak lama, telah menjadi keberpalingan kepada
Islam.
Hal
luar biasa yang sesungguhnya sedang terjadi dapat diamati ketika kita
mempelajari perkembangan tentang kecenderungan ini, yang mulai kita ketahui
melalui surat-surat kabar maupun berita-berita di televisi. Perkembangan ini,
yang umumnya dilaporkan sekedar sebagai sebuah bagian dari pokok bahasan hari
itu, sebenarnya adalah petunjuk sangat penting bahwa nilai-nilai ajaran Islam
telah mulai tersebar sangat pesat di seantero dunia. Di belahan dunia Islam lainnya,
Islam berada pada titik perkembangan pesat di Eropa. Perkembangan ini telah
menarik perhatian yang lebih besar di tahun-tahun belakangan, sebagaimana
ditunjukkan oleh banyak tesis, laporan, dan tulisan seputar “kedudukan kaum
Muslim di Eropa” dan “dialog antara masyarakat Eropa dan umat Muslim.”
Beriringan
dengan berbagai laporan akademis ini, media massa telah sering menyiarkan
berita tentang Islam dan Muslim. Penyebab ketertarikan ini adalah perkembangan
yang terus-menerus mengenai angka populasi Muslim di Eropa, dan peningkatan ini
tidak dapat dianggap hanya disebabkan oleh imigrasi. Meskipun imigrasi
dipastikan memberi pengaruh nyata pada pertumbuhan populasi umat Islam, namun
banyak peneliti mengungkapkan bahwa permasalahan ini dikarenakan sebab lain:
angka perpindahan agama yang tinggi. Suatu kisah yang ditayangkan NTV News pada
tanggal 20 Juni 2004 dengan judul “Islam adalah agama yang berkembang paling
pesat di Eropa” membahas laporan yang dikeluarkan oleh badan intelejen domestik
Prancis. Laporan tersebut menyatakan bahwa jumlah orang mualaf yang memeluk
Islam di negara-negara Barat semakin terus bertambah, terutama pasca peristiwa
serangan 11 September. Misalnya, jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di
Prancis meningkat sebanyak 30 hingga 40 ribu di tahun lalu saja.
No comments:
Post a Comment